Selasa, 16 Desember 2008

Betul Khan

Iklan di koran, maka ratusan orang akan segera datang menghiba memohon untuk diterima menjadi pegawai. Padahal kebutuhan hanya 4 - 7 orang. Nah yang lebih heboh banyak yang daftar tanpa modal yang cukup. Modalnya hanya ijazah sarjana dengan IPK tiga koma. Seolah dengan itu cukup. Mereka lupa bahwa untuk menjadi guru lebih butuh kepribadian daripada sekedar ijazah sarjana. Malah saya merasa lebih nyaman dengan guru yang pendidikannya tak terlalu tinggi tapi punya kepribadian yang oke dan semangat untuk maju yang tinggi. SD bukanlah Perguruan Tinggi, kemampuan akademik perlu tapi tak harus dibuktikan dengan ijazah yang tinggi-tinggi. Toh tidak semua lulusan SMA, D1, D2, D3 selalu lebih bodoh dari lulusan S1 bahkan S2. di tengah euforia gelar akademik, maka selembar ijazah beserta nilai-nilainya harus dibuktikan di lapangan. Mau bukti? Saya punya teman yang Magister Pendidikan Islam, konsentrasi studinya manajemen lembaga pendidikan. Kalau menilik ijazahnya mestinya ia paling pas jadi kepala sekolah. Tapi ketika ditawari ia katakan tak mampulah. Toh yang lebih berhasil malah yang hanya berijazah S1. Ada lagi sarjana tarbiyah yang baca qur'annya kalah sama lulusan SD. Tak tahu ulumul hadits, ulumul qur'an apalagi bahasa arab. Hafalan Qur'annya tak nembus setengah juz. Duh sedihnya.
Itulah realitas, pendidikan kita terjebak formalitas. Saya tak ingin mengatakan bahwa formalitas tak penting, tapi ketika sudah terjebak berarti siap untuk terperosok ke jurang kegagalan dan sulit untuk keluar darinya.
Saya punya gagasan, bagaimana kalau lembaga pendidikan dikelola dengan kombinasi pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan informal. Bukankah sekarang pakai KTSP, artinya sebuah sekolah mempunyai keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum dan metode serta metodologi pengelolaan pembelajarannya? Pendidikan formal punya keunggulan dalam hal keterukuran serta kestrukturannya. Pendidikan non formal lebih unggul dalam hal memenuhi kebutuhan pengetahuan seseorang serta biasanya lebih fokus. Pendidikan informal lebih unggul dalam hal membangun komunikasi sosial dan kemanusiaannya. Nah kalau ketiganya bisa digabung betapa dahsyatnya. Wacana ini sebetulnya sudah lama muncul dalam benak saya. Buku andreas Harefa : sekolah saja tidak cukup, buku Toto Chan dan banyak buku lainnya menginspirasi gagasan tersebut. Tapi cukup lama pula terpendam oleh rutinitas. Nah kini kuungkap kembali dengan harapan bersambut. paling tidak ada dokumen yang pernah saya tulis bahwa itu gagasan orisinilku. Walau mungkin banyak orang yang punya gagasan yang sama. Nah, siapa yang berani merintis jalan menuju pendidikan yang lebih bermakna?
Ya Allah, istiqomahkan langkah-langkah kami, walaupun langkah itu kecil-kecil, tapi bila istiqomah maka akan jauh pula jarak yang ditempuh. Amin.

Selasa, 09 Desember 2008

Tak mudah

Tetangga saya sudah berumur diatas 30 tahun, sampai hari ini belum juga menikah. Kalau ditanya jawabnya hampir senada dari waktu ke waktu : belum jodoh; artinya belum sesuai. Padahal sudah banyak yang mencoba mencarikan. Ada yang menawarkan temannya, ponakannya, saudaranya, muridnya, teman ngajinya, tetangganya dll. Tapi jawbannya hampir sama: belum sesuai.
Teman saya sudah lama non job. Sarjana dari PTN yang cukup bagus dengan indek prestasi lumayan. Cari kerja tak ketemu-ketemu. Pernah coba jualan tapi tak jalan karena tidak mau terlalu kotor (he he he), ikut MLM hanya menggebu-gebu di depan. Sampai sekarang masih berkutat dengan kebingungan. Saya jadi berfikir, mungkin ijazah sarjananya yang membuat ia tak segera dapat kerja. Mau buruh di pabrik; malu. mau jualan siomay : malu, mau jadi sales kelilingan: malu. Kuli bangunan : apalagi; mengerikan. Padahal tetangga saya yang hanya lulusan SMA lagipula sangat ndeso bisa juga sehari menghasilkan uang 30 - 60 ribu sehari dengan jualan bakso kojek. Mungkin itu tadi : belum cocok dengan pekerjaan. cocok dengan ijazahnya, cocok dengan tenaga yang dikeluarkan, cocok dengan status sosialnya, cocok dengan gajinya.
Yang ini lain lagi, Ahad kemarin ratusan ribu orang berebut pekerjaan yang tak terlalu bergengsi tapi menarik : PNS. Tak terlalu gengsi dibanding para buruh berdasi kelas manajer. Gaji tak terlalu besar (kecuali mau nyambi), lagipula karirnya sangat lambat. Menarik karena PNS adalah pekerjaan yang relatif tak banyak tantangan. Dengan jaminan tidak dipecat kalau tidak kebangeten maka para PNS bisa bekerja agak lebih santai daripada para buruh swastanan, dapat pensiun lagi, plus fasilitas yang kadang tak rasional untuk yang beruntung jadi pejabat. Tapi yang inipun menyisakan sebuah drama : lebih banyak yang tidak sesuai untuk masuk karena jumlahnya yang sangat terbatas. Nah.
Ini lebih dramatis lagi.
Sepeninggal beberapa punggawa, sekolahku butuh beberapa guru. Seolah mudah; iklan di koran, ratusan orang mendaftar, seleksi kemampuan dan kepribadian, wawancara, diterima, training, siap kerja. Mekanisme yang sudah berulang kali dilakukan. Apanya yang susah???? Hampir sama dengan jawaban tetangga saya : belum sesuai. Lebih tepatnya tidak mudah mencari guru yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Kalau ada yang sesuai orangnya kadang tak sesuai dengan gaji yang diminta. Kadang sesuai gaji yang diminta tapi tak sesuai orangnya. Kadang pula dua-duanya tak sesuai.
Tak mudah memamng mencari yang sesuai.
Akhirnya untuk yang kesekian kali aku harus berjibaku untuk mencari jodoh baru buat anak-anak didikku. Ternyata lebih sulit dari waktu aku mencari ibu buat anak-anakku.
Tak mudah memang, tapi bagaimanapun ini harus direalisasikan.

Jumat, 05 Desember 2008

Numpang lewat

Kurban menjelang.
banyak orang sudah siap dengan hewan kurbannya, entah membeli, entah memelihara sendiri.
Sebagian masih termangu-mangu mengupayakan sedikit tambahan uang untuk mencukupkan pembelian hewan kurban. Sebagian lain tak merasa harus peduli, apa sih maknanya kurban? Ada sebagian orang berpunya yang pura-pura tak punya karena mungkin punya tanggungan yang perlu dipertanyakan urgensinya. Punya mobil, rumah lebih dari satu, kendaraan untuk semua anaknya. Anak sekolah di sekolah mahal. tak mampulah dia untuk berkorban karena merasa utangnya banyak, padahal utang dibuat tanpa henti. Wah-wah. kalau sudah demikian apa bedanya dengan Qorun. Ia enggan membaya zakat dan sedekah karena merasa yang dimilikinya hasil keringatnya sendiri. Ia lupa bahwa jalan menuju sukses telah dibentangkan oleh sang pencipta. Ia lupa bahwa apapun dan berapaun yang ia punyai sejatinya pemberian dari sang pencipta. Jadilah ia durhaka, jadilah dia celaka. Maka apabila masih ada orang yang bakhil untuk mengeluarkan sedikit hartanya baik untuk zakat, kurban atau bentuk shodakoh lainnya percayalah bahwa ia telah menggali lubang untuk seluruh harta dan dirinya selayaknya qorun. Memang Allah tidak akan mengulang tragedi itu secara persis, tapi Allah akan mengulang dengan cara dan kadar yang berbeda. Oleh karena itu wahai seluruh manusia yang mengaku beriman, marilah sisihkan sebagian harta kita untuk kita kembalikan ke jalanNya. Semoga kita semua diberi bagian yang lebih, lebih banyak dan lebih berkah. Semoga. Amiin.

Rabu, 03 Desember 2008

Kembali sejenak

Sebuah perjalanan panjang penuh dengan liku. Menariknya, perjalanan itu kadang terjebak pada kebuntuan. pilihan sulit harus diambil. langkah apakah yang paling baik dilakukan? Perjalanan hidup seseorang panjang dan penuh liku. kadang sampai pada suatu titik dimana harus ada keputusan yang tepat. salah melangkah maka kehancuran akan didapat. Tapi tidak semua orang mampu memilih dengan tepat. adakalanya ia memilih sesuatu yang sejatinya diakui hatinya sebagai sesuatu yang salah. Hal yang sering dijadikan alasan adalah ketelanjuran, pantang kembali ke belakang, pantang menarik kembali ucapan ataupun keputusan. Fatal, itulah akibatnya.
Contoh yang gamblang adalah para tiran. Sejatinya Namrud tidak punya argumen logis apapun ketika patung berhalanya dihancurkan pemuda Ibrahim. Ia dengan lantang menolak bahwa patung yang besar melakukan penghancuran patung yang kecil karena tidak mungkin patung bisa melakukan hal itu. Ketika Ibrahim mempertanyakan kenapa patung yang tidak bisa berbuat apa-apa bahkan untuk dirinya sendiri disembah oleh Namrud sesungguhnya runtuh sudah argumen logisnya. Kalau ia mempunyai akal tentu saja dengan mudah dapat menerima argumen Ibrahim. Tapi sebuah keputusan tidak saja ditentukan oleh akal. Akal yang mestinya bisa membantu seseorang untuk mengambil keputusan yang tepat kalah oleh hawa nafsu, kesombongan. (kalau sempat besok dilanjutkan, baru ada tamu)