Rabu, 10 September 2008

Belajar dari Majapahit

Siapa orang yang tahu dengan majapahit. Anak SD Klas V pun pasti tahu sejarah kebesaran majapahit. Hayam Wuruk dan Gajah Mada adalah duet maut bagi lawan-lawan politiknya. Sejarah memang memaparkan secara sempurna masa keemasan Majapahit, tapi betulkah kebesaran majapahit dibangun tanpa cacat? Dengan sistem kerajaan, rakyat bukanlah apa-apa. Rakyat sangat tergantung dari kebaikan dan kecerdasan rajanya dalam memimpin. Jadi dalam bahasa kaum revivalis, zaman keemasan kerajaanpun pasti mengandung penjajahan. paling tidak penjajahan atas hak untuk berpendapat. Hanya saja karena ditutupi oleh keberhasilan atau hanya minoritas yang merasa punya hak maka hal itu tidak muncul di permukaan. Mirip dengan masa Suharto, semua orang diam karena Suharto memberi 'kecukupan hidup'. Rakyat tidak merasa dijajah, rakyat tidak merasa ditekan. Hanya orang-orang gila saja yang merasa ditekan dan diperkosa hak-haknya. Ternyata kebebasan berekspresi menjadi barang mahal bagi rakyat kecil yang tidak punya akses kekuasaan. Barulah setelah pemimpin yang sangat berkuasa lengser, semua orang bicara termasuk orang-orang yang dulu ikut menindas. Sama saja saya kira, Majapahit ataupun Indonesia masa Suharto, ketertindasan itu ada tapi tidak wujud. Saking lamanya tertindas, masyarakat indonesia menginginkan adanya RATU ADIL. Sebuah simbol keputusasaan. Pertanyaan besar adalah mengapa masyarakat tidak berusaha membangun sistem sehingga raja/presiden begitu berkuasa dan tidak pernah salah? Saya pun tidak tahu jawabnya. Ada dua karakter umum yang sangat kontradiktif, di satu sisi setiap penguasa selalu berusaha untuk memperkuat kekuasaannya sementara masyarakat selalu berusaha untuk mengamankan posisinya andaipun harus mengorbankan harga dirinya. kalau demikian halnya maka permohonan dari rakyat untuk datangnya RATU ADIL adalah wajar, sementara rindu untuk mendapatkan SISTEM yang lebih adil menjadi gagasan orang-orang gila.

Bis jurusan Purwodadi
Untuk lebih mudahnya perhatikan bis jurusan Purwodadi. Raja jalanan karena badannya besar. Siapapun yang berani melawan : sikat, selesai. pemakai jalan yang lain tentu saja memaki-maki. tapi kepada siapa, toh sopir bis tak terlalu penting untuk mendengar cacian tersebut atau bahkan sama sekali tidak mendengar. Bukankah lebih baik mendengarkan musik dangdut yang disetel kenceng? Apa daya, mau lawan jadi korban, mau minta tolong polisi (yang mestinya punya otoritas) eh,... malah disalahkan, mas yo nek pingin slamet minggir wae. Gak tahulah berapa banyak pak polisi diberi angpau oleh sopir bis, tapi saya kira tak seberapa.
Bila anda pemakai jalan, sangat tidak disarankan untuk melawan, tabrak, mati, dikubur, dimakan cacing. Matinya tidak terlalu terhormat karena "ditabrak bis jurusan purwodadi". Sama-sama ketabrak kan lebih terhormat kalau tertabrak mobil Toyota Alpard atau BMW seri 7, atau Mercy E-class. Yo po ra? Embuh lah. Nek aku sing penting mlebu surgo.

Agak sedikit melenceng
Kalau njenengan semua ditanya tentang pengelolaan lembaga njenengan, a la Majapahit atau a la Demokrasi pasti njenengan punya jawaban yang berbeda-beda.
a. Pilih kayak Majapahit asal rajanya bijaksana seperti Hayam Wuruk
b. Pilih Demokrasi asal semua bisa berdemokrasi secara dewasa
c. Tidak pilih keduanya karena dua-duanya tidak ada dalilnya dalam Al Qur'an dan As Sunnah.
d. Karepmu lah.
Terserahlah, yang penting kita semua menyadari dan siap untuk menghadapi segala kesulitan. Kata orang bijak, sikap yang terbaik adalah seperti kapas, ditekan seperti apapun dia akan mampu kembali mengembang. Lha nek di bong piye? Yo Wis, kapan-kapan dipikir maneh.

Tidak ada komentar: