Jumat, 12 September 2008

Petruk Dadi Ratu

Goro-goro versi wayang kulit harusnya dimaknai sebagai simbolisasi dari perlawanan terhadap kekuasaan yang dijungkir balikkan melalui cerita. Bahkan para dalang jaman bahuela terbiasa mendemontrasikan pemberontakannya atau ide-ide pembaharuannya pada sesi goro-goro ini.

Berbicara goro-goro tak nyamleng bila tak membicarakan lakon utama dalam goro-goro itu sendiri. Ya, goro-goro atau jungkir baliknya dunia adalah saatnya bagi punakawan tampil. Beberapa tokoh jelek jejogedan dan uro-uro semaunya, cebang-ceblung ngalor ngidul omongannya tetapi pesannya jelas.

Megahnya istana Atmartha atau Hastina di dilupakan, sebagai gantinya suasana pedesaaan Karangkedempel atau Pecukpecukilan ditampilkan, ini jamannya kaum kromo. Begitu tegasnya goro-goro.

Di tanah asalnya, di lembah Sungai Gangga dan Yamuna di selatan Himalaya, konsep wayang punakawan sama sekali tidaklah dikenal. Dengan kata lain konsep rakyat jelata dalam struktur wayang India juga tidak tidak ada.

Dengarlah imbauan Manusmriti yang mengatakan, “… untuk menjalankan tugas negara, Ksatria dan Brahmana harus bersatu, dan Sudra harus menjalankan tugas yang telah digariskan. Sudra harus menekuni kewajibannya sendiri. Tak boleh berpikir mengenai urusan negara” Cerita wayang adalah cerita tentang para ksatria, para dewa dan para raja dan tak ada tempat bagi para hamba.

Konsep punakawan adalah murni hasil pemikiran kerakyatan manusia Jawa. Dia mewakili pandangan ideologis rakyat yang serong ke “kiri”, sekaligus mewakili pandangan-pandangan akar rumput yang membebaskan.

Mereka melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penasihat para ksatria, penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan.

Alkisah, di dasar samudera, seorang pertapa raksasa, Begawan Salantara atau raja Gandarwa begitu biasa dia disebut. Berputra pemuda gagah bak Casanova. Namanya Bambang Pecrukpenyukilan. Meskipun suka asbun, Bambang Pecrukpenyukilan mewarisi kesaktian ayahnya, hingga di kampungnya dia menjadi jejadug.

Merasa tak mendapat lawan setimpal di kampung, dia naik kedarat mencari lawan untuk menjajal kesaktian. Beruntunglah, ada Bambang Sukakadi, pemuda dari pertapaan Bluluktiba yang ingin menjajal ilmu kebalnya.

Pertempuran gaya pasar pagipun tak terelakkan. Keduanya saling menendang, memukul, menginjak, menyikut, mengigit dan brakotan. Alhasil rusaklah badan mereka. Tanpa operasi plastik kedua pemuda yang tadinya gagah berubah wujud menjadi dua sosok berwajah aneh dan ancur-ancuran.

Untunglah sebelum perkelahian gaya bebas berakibat fatal datang Sang Smarasanta alias Ki Semar Badranaya bersama jelmaan bayangannya, Bagong (Bawor=Banyumas, Besut=Jawa Timur, Cepot=Sunda). Atas wejangan Semar kedua pemuda itu tersentuh dan bertekad mengabdi seumur hidup pada Ki Semar.

Sejak itu Bambang Pecrukpenyukilan berubah nama menjadi Petruk dan Bambang Sukakadi berubah nama menjadi Gareng. Bersama Semar, Gareng dan Bagong, Petruk menjadi panakawan, pengiring setia para ksatria Pandawa. Dan kebetulan Petruk-lah yang ingin saya ceritakan kali ini dalam kisah paling merakyat, Petruk Dadi Ratu.

Dhok..derodhok..dhok.. dhok… Sang dalang menghajar kothaknya untuk memulai cerita.

Pertarungan baru saja di mulai, dengan mudahnya para ksatria Astina dan Amarta yang dikagumi dan diyakini memiliki kesaktian tak terbayangkan KO dalam sekali pukul. Sebuah negara kecil, Sonyawibawa, muncul tiba-tiba di pojokan Astina yang agung. Mengaku berdaulat dan menantang perang Astina. Hasilnya David mengalahkan Goliath. Dan Petruk menjadi raja dan menghadiahi gelar pada dirinya sendiri Sang Prabu Baginda Belgeduwelbeh Tongtongsot Upilkulegen Hanyokrowati Mbaudendo Panato Senggomo’ne Kenya Limo.

Bagi Petruk menjadi raja adalah amanat, dan kesaktian yang bisa mengalahkan para ksatria adalah kekuatan akar rumput yang sudah muak akan penindasan. Kekuatan nurani rakyat yang tak dapat dikalahkan oleh segala macam kesaktian andalan para ksatria. Dan Petruk adalah semangatnya.

Petruk menjadi raja bukan karena dia marah dan mendendam pada para majikannya. Dan dia juga tidak memiliki ajian mumpung, mumpung berkesempatan memegang jimat Kalimasada. Petruk bukan itu. Dia malah menawarkan kesempatan para ksatria untuk sejenak ijolan nggon (bertukar tempat) dengan para hamba.

Petruk juga mengajarkan kepada para satria ilmu yang seringkali dilupakan para ksatria. Ilmu mendengarkan, ilmu hidup prihatin, ilmu ditimpa kesewenangan dan ketidakadilan, ilmu mengaduh tanpa suara, ilmu menghamba tetapi berjiwa merdeka.

Karena jika ksatria mempunyai hati hamba, apalah susahnya hidup sederhana? Jika ksatria mempunyai telinga, apa susahnya diam mendengar? Jika ksatria bermata, apa susahnya melihat realita? Jika ksatria berotak, apa susahnya mikir rakyatnya?

Jungkir-baliknya tatanan istana yang mulia bukannya tanpa sengaja oleh Petruk. Tetapi karena memang bahasa Petruk adalah bahasa kampung, udik, ndeso dan katrok. Petruk justru mengingatkan, tatanan hanyalah tatanan, hukum hanyalah hukum dan nilai hanyalah nilai. Manusialah yang harusnya menjadi tujuan termulia.

Ketika ksatria menjadi penghamba lekuk-liku birokrasi istana, guna apa mereka bagi kawula? Bukankah raja ada karena ada kawula, dan raja hanya dititipi amanah semata dan bertahta demi rakyatnya?

Bukankah tatanan, hukum, nilai atau apapun dibuat demi kesejahteraan rakyatnya? Dan Petruk ingin meningatkan hal itu.

Petruk bukannya kurang ajar menembus hierarki, tetapi itu adalah keniscayaan. Ketika semua saluran mampet. Dan kondisi menciptakan penjegalan supaya yang dibawah tak bisa meluncur ke atas, ketika kelompok atas enggan turun ke bawah, saat itulah Petruk sang pembebas muncul. Dia menunjukan bahwa semua orang berhak berkuasa, semua orang layak menghamba. Hanya akhlak dan kemampuanlah penentunya.

Dan Petruk tetaplah Petruk kejayaan tiadaklah menghapus kesederhanaanya. Meskipun menjadi raja sakti madraguna kaya raya, tetap dipilihnya permaisuri buruk rupa. Pas benar dengan dirinya. Tidak mengumbar keinginan meskipun bisa.

Lihatlah ketika pelantikan dirinya, yang ingin ditontonya bukan dansa-dansi atau opera yang ndakik-ndakik. Dia hanya ingin nonton tayub dengan ledek yang bisa goyang ngebor mirip Inul. Hobinya pun bukan langsung ganti dengan golf atau clubbing, tetap gobag slodor.

Dan ketika waktunya tiba, Petruk runtuh ketika harus berhadapan dengan Bagong saudaranya sesamanya. Bukan dengan ilmu dan aji jaya kawijayan bak ksatria. Namun dengan berkelahi gaya bebas khas pinggiran, mbrakot, nyokot, nyuwek dan njabak. Ya gelut gaya pasar pagi, itulah bahasa Petruk, bahasa Bagong, bahasa rakyat.


Tulisan ini mewakili kata hati rakyat yang semakin terpinggirkan dan merindukan kepemimpinan yang lebih baik bagi bangsa ini.

diambil dari sebuah blog yang sayang belum ketemu lagi alamatnya. Mohon maaf bagi penulisnya, semoga kebaikan yang didapat.

Tidak ada komentar: