Selasa, 19 Agustus 2008
Menakar Nasionalisme Kita
Dulu, konon kata para sesepuh yang namanya pekik merdeka dibahanakan dengan bahasa hati. yang ada dalam relung hati yang paling dalam adalah kemerdekaan yang hakiki yang akan mengantar bangsa indonesia ini menjadi bebas menentukan nasibnya sendiri dan pada akhirnya negeri gemah ripah loh jinawi toto titi tentrem kerto raharjo betul-betul bisa diwujudkan. tapi lihatlah setelah 63 tahun Soekarno-Hatta membacakan teks proklamasi, cita-cita itu hanya tinggal angan-angan. karena negeri yang apa-apa ada ini ternyata tidak ada apa-apanya dan tidak bisa berbuat apa-apa. Lahirlah kini pekik merdeka yang tanpa makna, diucapkan kalau bulan agustus, dibimbui dengan lomba makan krupuk (yang tidak pernah mencerdaskan) atau dangdutan (yang berakhir tawuran). kini pekik merdeka diucapkan para maling karena bebas dari tahanan setelah nyogok para hakim dan jaksa. tentu saja maling yang jumlah malingannya masih cucuk dibanding sogokannya. Kini pekik merdeka diucapkan oleh para pejabat yang hanya mau kerja kalau diberi gaji yang cukup (lha kapan cukupe?). ada yang lebih aneh lagi, orang berlomba-lomba untuk mengecat pagarnya dengan warna merah putih, padahal belum terbukti baktinya pada negeri ini, atau pakaian yang dikenakan setiap harinya diberi bendera kecil atau bros burung garuda ==> biar terkesan nasionalis gitu lho. maka muncullah kini nasionalisme simbolik (istilah yang kubuat sendiri, gak tahu apakah ada orang yang memakai istilah ini, aku tidak peduli dan tidak merasa perlu untuk mengklaim atau bahkan mematenkan). Nasionalisme yang diwujudkan dengan simbol, tidak terlalu dirisaukan apakah simbol itu dipakai para maling, copet, pemabuk, garong, preman, penjudi, koruptor atau jenis kejahatan lainnya. para pemakai simbol tersebut seolah-olah nasionalis sejati. Itulah Indonesia. Semoga ratapan ibu pertiwi bisa didengar oleh manusia yang punya hati nurani. Amin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar