Rabu, 29 Oktober 2008

PNS dulu, kini dan esok

Ayahku PNS, Guru SD di desa. pengabdiannya pada masyarakat membuatnya disegani dan dihormati. Semua keluarganya bangga, nenekku (aku sdh tak menjumpai kakaekku) begitu bangga dengan ayahku, anak keduanya. Ayahku berjuang untuk meneruskan studinya. Saat itu pilihan hidup tak terlalu banyak. tani menjadi pilihan hampir semua orang yang sudah mulai berusia belasan tahun. tapi ayahku nekat, walaupun harus dengan memeras keringat membanting tulang beliau melanjutkan studinya. Konon namanya SGB (sekolah guru B). Lamanya 4 tahun, jangan tanya jauhnya. Yang pasti keringat bercucuran ketika sampai di sekolah adalah hal biasa. Menyeberang sungai yang kalau banjir tak bisa dilewati adalah hal biasa. Hasilnya, ayahku termasuk segelintir orang yang berhasil membuka jendela ilmu di desaku dan sekitarnya. 40 tahun mengabdi sebagai PNS guru. luar biasa. Ayahku mewariskan semangat pengorbanan dan pengabdian kepada seluruh anaknya. Sikap terbuka, menerima kelebihan dan kekurangan, kemandirian dalam bersikap sangat menonjol untuk ukuran beliau sebagai seorang yang dianggap "priyayi". Satu hal yang sangat tabu bagi anak-anaknya adalah sikap iri. Ayahku menekankan bahwa bisa jadi semua anaknya akan menerima nasib yang berbeda, jangan sampai iri apalagi dengki, jangan rebutan harta orang tua. Alhamdulillah, walaupun secara materi tidak semua anaknya sukses tapi untuk urusan kerukunan, kejujuran semua anak-anaknya mampu menunjukkkan bakti kepada ayah tercinta. Kami tidak pernah diajari untuk mengambil hak orang lain.
PNS dulu lain dengan sekarang. Kalau melihat ayahku yang digaji oleh negara tak seberapa walaupun harus mengajar di kaki sebuah gunung, hati ini menjadi bimbang. Akankah perjuangan para pendahulu yang sedemikian mengaharu biru penuh pengorbanan menjadi sia-sia oleh para abdi negara yang bekerja tanpa dedikasi? Tak tahulah, yang jelas di antara banyak pekerjaan, menjadi PNS lah yang paling enak. Gaji jelas, karir jelas, kontrol tak jelas, kadang pekerjaan pun tak jelas.
Semoga gundah ini hanya sebersit ketidaktahuan. Kuyakinkan diriku bahwa masih terlalu banyak manusia penuh dedikasi di bumi Indonesia tercinta, paling tidak untuk waktu yang akan datang ketika para da'i mulai mengepakkan sayapnya di jajaran birokrasi negeri ini.

Tidak ada komentar: