Iklan di koran, maka ratusan orang akan segera datang menghiba memohon untuk diterima menjadi pegawai. Padahal kebutuhan hanya 4 - 7 orang. Nah yang lebih heboh banyak yang daftar tanpa modal yang cukup. Modalnya hanya ijazah sarjana dengan IPK tiga koma. Seolah dengan itu cukup. Mereka lupa bahwa untuk menjadi guru lebih butuh kepribadian daripada sekedar ijazah sarjana. Malah saya merasa lebih nyaman dengan guru yang pendidikannya tak terlalu tinggi tapi punya kepribadian yang oke dan semangat untuk maju yang tinggi. SD bukanlah Perguruan Tinggi, kemampuan akademik perlu tapi tak harus dibuktikan dengan ijazah yang tinggi-tinggi. Toh tidak semua lulusan SMA, D1, D2, D3 selalu lebih bodoh dari lulusan S1 bahkan S2. di tengah euforia gelar akademik, maka selembar ijazah beserta nilai-nilainya harus dibuktikan di lapangan. Mau bukti? Saya punya teman yang Magister Pendidikan Islam, konsentrasi studinya manajemen lembaga pendidikan. Kalau menilik ijazahnya mestinya ia paling pas jadi kepala sekolah. Tapi ketika ditawari ia katakan tak mampulah. Toh yang lebih berhasil malah yang hanya berijazah S1. Ada lagi sarjana tarbiyah yang baca qur'annya kalah sama lulusan SD. Tak tahu ulumul hadits, ulumul qur'an apalagi bahasa arab. Hafalan Qur'annya tak nembus setengah juz. Duh sedihnya.
Itulah realitas, pendidikan kita terjebak formalitas. Saya tak ingin mengatakan bahwa formalitas tak penting, tapi ketika sudah terjebak berarti siap untuk terperosok ke jurang kegagalan dan sulit untuk keluar darinya.
Saya punya gagasan, bagaimana kalau lembaga pendidikan dikelola dengan kombinasi pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan informal. Bukankah sekarang pakai KTSP, artinya sebuah sekolah mempunyai keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum dan metode serta metodologi pengelolaan pembelajarannya? Pendidikan formal punya keunggulan dalam hal keterukuran serta kestrukturannya. Pendidikan non formal lebih unggul dalam hal memenuhi kebutuhan pengetahuan seseorang serta biasanya lebih fokus. Pendidikan informal lebih unggul dalam hal membangun komunikasi sosial dan kemanusiaannya. Nah kalau ketiganya bisa digabung betapa dahsyatnya. Wacana ini sebetulnya sudah lama muncul dalam benak saya. Buku andreas Harefa : sekolah saja tidak cukup, buku Toto Chan dan banyak buku lainnya menginspirasi gagasan tersebut. Tapi cukup lama pula terpendam oleh rutinitas. Nah kini kuungkap kembali dengan harapan bersambut. paling tidak ada dokumen yang pernah saya tulis bahwa itu gagasan orisinilku. Walau mungkin banyak orang yang punya gagasan yang sama. Nah, siapa yang berani merintis jalan menuju pendidikan yang lebih bermakna?
Ya Allah, istiqomahkan langkah-langkah kami, walaupun langkah itu kecil-kecil, tapi bila istiqomah maka akan jauh pula jarak yang ditempuh. Amin.
Selasa, 16 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar